Korban UU-ITE Penghina Jokowi Dikunjungi Fadli Zon, yg dulu anti-Kebebasan Internet
Fadli Zon Kunjungi Kediaman Penghina Presiden Jokowi Pagi Ini
Jumat, 31 Oktober 2014 08:05 WIB
Rumah Muhamad Arsyad (23), tukang tusuk sate yang ditangkap polisi karena menghina Presiden Jokowi, ramai dikunjungi warga, Rabu (29/10/2014). Mereka mengunjungi rumah Arsyad di Jalan Haji Jum RT 09/01 Rambutan, Ciracas, Jakarta Timur.
Fadli Zon, Wk Ketua DPR
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua DPR Fadli Zon dijadwakan bakal mengunjungi kediaman ibu dari Muhamad Arsyad (23), seorang penjual sate yang ditangkap polisi karena menghina Presiden Joko Widodo lewat foto di Facebook.
Dari informasi yang diterima Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu akan datang pukul 09.00 WIB ke kediaman Mursida di Jl.H. Geni RT 6/ RW 1, Kel. Rambutan, Jakarta Timur, Jumat (1/11/2014).
Diberitakan, Muhammad Arsyad dituding mengedit gambar laki-laki perempuan yang tengah melakukan adegan seronok. Wajah Presiden Joko Widodo ditempel di wajah laki-laki. Sedangkan di wajah perempuannya ditempel wajah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri. Gambar tersebut kemudian diunggah ke akun Facebook miliknya.
Pada 23 Oktober lalu petugas Mabes Polri mencokok Muhamad Arsyad di kediamannya, setelah diperiksa sekitar 24 jam, warga Ciracas, Jakarta Timur itu pun ditetapkan sebagai tersangka.
Pemuda 24 tahun tersebut dijerat dengan Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi, dengan ancaman 10 tahun penjara. Ibunda pelaku, Musidah sembari menangis menyampaikan permohonan maafnya melalui media. Ia juga meminta putranya itu dibebaskan.
http://ift.tt/1wL1OwE
Fadli Zon Ancam Kebebasan Internet?
Fenomena 'Pasukan Nasi Bungkus' Merajalela Jelang Pilpres
Selasa, 22/04/2014 06:58 WIB
Jakarta - Waketum Gerindra Fadli Zon berpuisi tentang 'Pasukan Nasi Bungkus' alias 'Panasbung' yakni laskar cyber bayaran. Fadli melontarkan puisi itu lantaran maraknya pasukan nasi bungkus di jagad maya jelang Pilpres.
"Pasukan nasi bungkus ini semakin marak. Black campaign melalui internet baik lewat twitter maupun facebook merajalela dan bahkan jadi cara kampanye," kata Fadli kepada detikcom, Selasa (22/4/2014).
Fadli menuturkan fenomena pasukan nasi bungkus hanya ada di Indonesia. Karena di Indonesia orang bebas membuat akun anonim.
"Di luar negeri orang tidak gampang bikin akun palsu. Di satu sisi ini menunjukkan liberalisasi yang luar biasa di bidang internet. Kalau di Singapura atau Malaysia itu kan memang ada kontrol, di Inggris pun ada kontrol," katanya.
Namun Fadli menuturkan Gerindra tak takut menghadapi 'Panasbung' dari partai lain. "Gerindra berupaya mengimbangi dengan kampanye positif. Panasbung ini kan jadi sampah virtual. Jadi kalau baliho itu kan sampah visual, kalau ini sampah virtual," katanya.
Berikut puisi Fadli Zon yang dipublikasikan di detikcom, Senin (21/4):
Kami pasukan nasi bungkus
Laskar cyber pejuang di belakang komputer
Senjata kami facebook dan twitter
Menyerang lawan tak pernah gentar
Patuh setia pada yang bayar
Kami pasukan nasi bungkus
Hidup dari cacian dan fitnah harian
Tetap gagah bertopeng relawan
Tak kenal menyerah selalu melawan
Identitas diri jarang ketahuan
Kami pasukan nasi bungkus
Punya sejuta akun siluman
Bagai pedang terhunus
Siap menghujam setiap orang
Kami pasukan nasi bungkus
Tak takut dosa apalagi neraka
Kami bisa tertawa di balik luka
Demi sebungkus nasi dan kiriman pulsa
Fadli Zon, 20 April 2014
http://ift.tt/1wL1Qob
Pemerintahan Jokowi-JK Harus Berani Revisi UU ITE
Kamis, 16/10/2014 18:07 WIB
Jakarta - Timbul preseden buruk di balik implementasi UU ITE yang menimbulkan efek negatif yang tidak sesuai norma hukum. Sehingga pasca transisi pemerintahan, Jokowi-JK harus berani merevisi dan menghapus ancaman pidana UU ITE.
"Jika ditinjau secara keseluruhan pengaturan yang termaktub dalam UU ITE nampak sangat dipaksakan karena memasukan banyak norma hukum yang pengaturannya dapat dilakukan dalam instrumen hukum yang terpisah," ujar peneliti Elsam Wahyudi Djafar dalam diskusi UU ITE meresahkan kemerdekaan pendapat dan berekspresi di Rumah Makan Tjikini, Jalan Cikini Raya No 17, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (16/10/2014).
Sehingga dalam implementasi UU ITE memperlihatkan kegagalan dalam pedoman konten internet. Selain itu tingginya ancaman hukuman mengakibatkan terbelenggunya kemerdekaan berpendapat dan berekspresi warga negara.
"Ironis ketika pembuatan suatu hukum ditujukan untuk menegakan dan melindung HAM namun pada akhirnya malah berakibat pada pelanggaran ham itu sendiri," tuturnya.
Wahyudi mengatakan di era pemerintahan yang baru nanti, UU ITE dapat direvisi dan menghapuskan ancaman hukuman pidana.
"Saya kira hal ini setelah terbentuknya alat kelengkapan DPR, pemerintah harus menjadikan revisi UU ITE sebagai agenda prioritas," tuturnya.
Wahyudi juga mengatakan pratik pemblokiran konten internet secara teknis menjadi cacat. Sehingga memiliki dampak yang lebih luas
"Oleh karena itu untuk memastikan tujuan perlindungan hak asasi perubahan UU ITE harus secara khusus menyediakan pengaturan konten dengan memperhatikan 3 elemen pengujian," tuturnya.
Ia pun menjelaskan proses dmenguatnya forum tata kelola internet Indonesia. Sudah semestinya pengambilan kebijakan harus melalui pendekatan multi pemangku kepentingan.
"Model pengaturan ini tidak menyerahkan sepenuhnya kebijakan terkait internet pada satu pihak atau otoritas tetapi melibatkan semua pemangku kepentingan seperti dari sektor bisnis, kelompok teknis, organisasi masyarakat, termasuk pengguna internet," ungkapnya.
http://ift.tt/1wL1Qof
5 TAHUN UU ITE: 1 Pasal Represif, 25 Korban
1 Pasal Represif, 25 Korban, Lalu Berapa Lagi yang Akan Di-Prita-kan?
Masih ingat Prita Mulyasari? Ibu rumah tangga yang diperkarakan oleh pasal 27 ayat 3 UU ITE oleh RS Omni International pada Agustus 2008? Kita berpikir semua masalah selesai ketika masyarakat bereaksi keras atas keputusan tidak adil tersebut. Tapi ternyata tidak. Karena kita tak pernah menyentuh akar masalahnya.
Termasuk Prita, ada total 25 korban gara-gara pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berhasil diidentifikasi. Dari jumlah tersebut, tahun 2013 merupakan tahun paling buruk bagi pengguna internet di Indonesia. Setiap bulan 1 kasus muncul selama 2013. Jumlah ini bisa bertambah karena ada banyak kasus yang tidak muncul di media dan selesai dengan pencabutan isi blog, twitter, FB, status BBM dll.
Yang tampak dari kasus-kasus yang mencuat ini adalah pasal 27 ayat 3 UU ITE lebih banyak digunakan pelapor untuk meredam upaya kritik masyarakat. Pelapornya pun mayoritas orang-orang yang “memiliki kuasa” entah ia politisi, bupati, sampai pejabat tinggi. Lalu kita tentu saja bertanya kepada siapakah sesungguhnya UU ITE berpihak? Kita memang perlu peraturan mengatur soal cyber crime, tata laksana internet di Indonesia, tetapi apakah perlu mengatur soal pencemaran nama di internet? Yang lebih utama lagi, perlukah pencemaran nama dipidana dan mereka yang melakukannya dipenjara?
Hal-hal ini yang perlu segera diubah dalam UU ITE yang katanya akan segera direvisi Kominfo dan DPR pada Prolegnas 2014. Hapus pasal 27 ayat 3 UU ITE dan hilangkan hukuman penjara bagi tindakan pencemaran nama. Hentikan pemenjaraan orang hanya karena ia menyampaikan pendapatnya di media internet/social media.
Peluncuran Petisi oleh Prita Mulyasari lewat http://ift.tt/1zkNkXM adalah langkah pertama untuk mendesak Kominfo mengubah UU ITE lebih melindungi warga Negara dan menghapus pasal represif tersebut untuk selamanya dari UU ITE. Peluncuran ini juga merupakan simbol bahwa masyarakat ingin kehidupan internet yang lebih sehat, lebih demokratis, dan lebih dinamis.
Berikut daftar korban UU ITE:
- Johan Yan. Komentar di Facebook tentang dugaan korupsi Rp 4,7 triliun di Gereja Bethany Surabaya. terancam hukuman penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar.
- Anthon Wahju Pramono. Akibat kirim SMS dengan bahasa yang kasar kepada HM Lukminto, ia dikasuskan dan sudah diproses hukum di Pengadilan Negeri Solo.
- Ade Armando. Dosen FISIP UI, menjadi tersangka karena mengindikasikan adanya korupsi pada Direktur Kemahasiswaan UI.
- Benny Handoko. Men-tweet mengenai tuduhan korupsi kepada @misbakhun mantan anggota DPR dan aktivis di PKS. Sempat ditahan 1 hari, kasus sedang berjalan.
- Budiman. Siswa SMP Negeri Ma’rang, Kab. Pangkep ditahan karena mengkritik Bupati Pangkep, Syamsuddin A Hamid melalui Facebook.
- Mirza Alfath. Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe Aceh dianggap melakukan pelecehan atas syariat Islam atas komentarnya di Facebook.
- Musni Usmar. Mantan Ketua Komite Sekolah SMAN 70 yang juga salah satu dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi tersangka pencemaran nama baik setelah menulis di blog.
- Alexander Aan. Dipenjara 2,5 tahun dan denda 100 juta rupiah karena dianggap menyebarkan kebencian agama lewat Facebook, Sumatera Barat.
- Muhammad Fajriska Mirza. Men-tweet tentang dugaan suap Jamwas Marwan Effendi. Ancaman 8 tahun penjara.
- Ira Simatupang. Mantan dokter RSUD Tangerang dilaporkan kepolisi atas laporan pencemaran nama baik, divonis 5 bulan penjara.
- Donny Iswandono. Penggerak dan pemimpin redaksi Media Online Nias-Bangkit.com (NBC) dituntut Bupati Nias Selatan Idealisman Dachi terkait pemberitaan kasus korupsi di Nias Selatan.
- Muhammad Arsyad. Aktivis Garda Tipikor ditahan setelah menulis status BlackBerry Messenger (BBM) mengindikasikan korupsi Nurdin Halid.
- Denny Indrayana. Wakil menteri hukum dan HAM, dilaporkan OC Kaligis ke Polda Metro Jaya atas pencemaran nama baik.
- Yenike Venta Resti. Karena status Facebooknya, ia dituntut 1,5 tahun penjara. Diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
- Mustika Tahir. Ketua LSM Pemantau Kinerja Aparatur, ditahan Polisi Sulawesi Selatan atas laporan Andi Khairil Syam (anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Wajo.
- Farhat Abbas. Diperiksa sebagai tersangka karena berkomentar bernada SARA ke Wakil Gubernur DKI Jakarta. Kasusnya sudah dimediasi.
- Rahayu Kandiwati dan Siti Rubaidah. Aktivis perempuan dan korban, dilaporkan Joko Prasetyo, seorang aktivis perempuan, dan Siti Rubaidah karena telah memberikan pernyataan di media massa serta dalam situs change.org.
- Beryl Cholif Arrahman. Mengkritik guru lewat Facebook, sempat dipecat dari SMA Negeri 1 Kecamatan Pakong, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Pemecatan akhirnya dibatalkan, diganti surat tidak mengulangi perbuatan.
- Yunius Koi Asa. Dianggap memfitnah tentang kecurangan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT melalui Facebook. Dilaporkan ke Polres Belu, oleh Silverius Mau.
- Prita Mulyasari. Menulis email tentang keluhan perlakuan buruk RS Omni Internasional. Sempat ditahan 22 hari. Dinyatakan bebas Februari 2013
- Herman Saksono. Blogger/Programmer di Jogjakarta diperiksa oleh Polisi Jogja setelah memposting foto editan SBY di blog pribadinya.
- Narliswandi Piliang. Karena artikel berita berjudul “Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto” ia dilaporkan Alvin Lie, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Amanat Nasional. Iwan diperiksa Satuan Cyber Crime Polda Metro Jaya karena dugaan melanggar UU ITE, Pasal 27 ayat 3.
- Erick J Adriansjah. Menyebarkan email berisi informasi pasar yang belum dikonfirmasi, kemudian beredar di mailing-list membuat ia dituntut Bank Indonesia dan Bank Artha Graha. Erick ditahan Unit V Cyber Crime Mabes Polri karena dianggap melanggar UU ITE, Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 1 dan diskors dari perusahaannya.
- Nur Arafah/Farah. Pelajar SMA yang lantaran marah karena cemburu memposting cacian di Facebook. Telah menjalani proses pemeriksaan oleh Mapolresta Bogor.
- Harry Nuriman, Moderator milis pekerja tambang, digugat pencemaran nama baik perusahaan melalui milis oleh kuasa hukum PT Sumber Mitra Jaya. Akhirnya dimediasi dan ia melakukan permintaan maaf lewat Harian Kompas dan Bisnis Indonesia
http://ift.tt/1wL1OMY
UU ITE dan 'Negara Setengah Merdeka' di Internet
Kamis, 30 Okt 2014 11:41 WIB
MedanBisnis - Jakarta. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) diharapkan menjadi salah satu prioritas bagi Menkominfo Rudiantara untuk ditinjau ulang. Desakan ini muncul dari sejumlah netizen, LSM dan penggiat internet lainnya.
Rudiantara yang diundang oleh Forum Digital Demokrasi untuk menyampaikan aspirasinya diminta agar pasal 27 di UU ITE tentang pencemaran nama baik bisa direvisi atau bahkan dihapus.
"Karena menurut Freedom House, tahun 2013 Indonesia tercatat sebagai 'negara setengah merdeka' dalam berinternet. Di tahun 2014, malah lebih parah lagi kondisinya," kata Damar Juniarto, dari Safenet, di HOTEL 4Season, Jakarta.
Salah satu alasan mengapa pasal 27 di UU ITE perlu mendapatkan perhatian khusus dari Menkominfo, karena makin banyak saja korban yang dijerat melalui UU ini. Selain memang, menekan kebebasan berekspresi.
Dikatakan oleh Damar, sejak tahun 2008 hingga 2014 setidaknya sudah ada 69 kasus menggunakan UU ITE yang terdeteksi. Jumlahnya malahan terus naik tiap tahunnya.
"Tahun 2008 ada 2 kasus, sempat turun 1 kasus di 2010. Namun sejak tahun 2011 naik dari 3 kasus, menjadi 8 kasus, 2013 ada 14 kasus dan 2014 menjadi 39 kasus," katanya.
Ditambahkan oleh Damar, sebaran kasus UU ITE sudah terjadi dari Aceh hingga Makasar. Namun yang mengejutkan, kebanyakan justru lebih banyak terjadi di luar kota-kota besar.
Dia juga menambahkan, pasal 27 di UU ITE menjadi multitafsir antara yang privat dan yang publik. Sehingga rentan untuk dikriminalisasikan.
"Kasus yang terjadi di media jejaring sosial yang menggunakan UU ITE ini sebagian besar berasal dari Facebook dimana jumlah 24 kasus, kemudian Twitter 16 kasus, Path 1 kasus, email 3 kasus dan blog 4 kasus," urai Damar.
Menkominfo Tampung Aspirasi
Masukan dari para aktivis ini tentu saja ditampung oleh Rudiantara. Menurutnya, saat ini dirinya masih terus melakukan 'shopping' untuk mendapatkan sejumlah masukan untuk menyusun daftar PROGRAM kerja yang prioritas.
"Kita harus lihat dahulu, apa isu krusialnya bagaimana magnitude-nya. Biar tahu ada tingkat urgensinya, sehingga bisa dikejar secara bersama-sama," kata Rudiantara.
Dia mengatakan setuju bila internet bisa dijadikan wadah untuk meluapkan kebebasan dalam berekspresi, namun dengan catatan harus bertanggung jawab.
Selain itu, dia juga mendapat masukan mengenai aturan ketat mengenai pemblokiran situs namun tak jarang sering salah sasaran. Salah satunya adalah masih bebasnya situs penyebar kebencian dan pemecah kesatuan NKRI.
Soal ini, Rudiantara tak mau kompromi, baginya bila memang terbukti ada situs seperti penyebar kebencian maka akan langsung ditutup.
"Saya akan langsung tutup. Saya yang suruh langsung, bila nanti saya Di-PTUN-kan saya terima, saya siap," tandasnya.
http://ift.tt/1zkNjmt
-----------------------
Niie orang suka pencitraan juga tampaknya. Kalau memang mau membela netter agar jangan jadi korban lagi, mumoung dikasih kuasa sebagai Wakil Ketua DPR, berani kagak mensponsori langkah merevisi UU-ITE yang menjadi biang keladi penangkapan seperti kasus diatas?
Comments
Post a Comment