Jika Kepemimpinan Kuat,Jokowi Dinilai Mampu Atasi Politik Gaduh
Jokowi. ©2014 merdeka.com/Muhammad Luthfi Rahman
Kegaduhan politik yang terjadi dalam proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR merupakan proses yang wajar dalam sistem pemerintahan demokratis, sekali pun konsekuensi dari proses politik itu adalah pemerintahan yang terbelah (divided government). Keterbelahan itu yakni antara kekuatan yang menguasai parlemen dengan kekuatan politik yang menguasai eksekutif.
“Itu tidak perlu terlalu dikawatirkan. Mengapa? Pertama, dalam konstitusi RI, terutama pasca-amandemen, kekuasaan presiden diperkuat. Dalam sistem presidensial, presiden adalah ‘single chief of executive’ sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara,” kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Dwipayana, seperti dikutip dari Antara, Kamis (9/10).
Dalam sistem presidensial, kata dia, presiden adalah ‘single chief of executive’ sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Dia mengatakan, kegaduhan politik akan bisa dihadapi oleh kepemimpinan presidensial yang kuat dan didukung rakyat.
Sebaliknya, ujar Ari, baik selama KIB jilid I dan II, justru memperlihatkan absennya kepemimpinan presiden yang kuat dan tegas.
“Walaupun ada upaya untuk akomodasi kekuatan politik di parlemen dalam kabinet dan Setgab Koalisi Pendukung SBY-Boediono, namun kenyataan perilaku politik beberapa partai (terutama Golkar dan PKS) masih menunjukkan quasi koalisi/oposisi sehingga ciptakan kegaduhan politik,” katanya.
Dengan demikian, lanjut dia, model perpolitikan dengan cara akomodasi sebanyak mungkin partai untuk menjamin stabilitas pemerintahan justru tidak terbukti berhasil dalam pengalaman pemerintahan SBY.
“Karena itu, presiden terpilih Joko Widodo tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama. Kepemimpinan presidensial yang kuat dan konsisten dalam menjalankan prinsip kerja-kerja ideologis untuk rakyat dalam program Nawa Cita adalah solusi hadapi kegaduhan politik,” tuturnya.
Ari menyebutkan, berdasarkan pasal 4 UUD 1945, presiden memegang kekuasaan pemerintah. Selain itu, presiden juga memegang kekuasaan dalam membentuk UU. Setiap UU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama (pasal 20 ayat 2 UUD RI).
“Jika UU itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU itu boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 3 UUD RI). Dengan demikian, perbedaan konstelasi politik antara legislatif dengan eksekutif harus dipandang sebagai bagian dari bekerjanya ‘checks and balances’ dalam sistem pemerintahan yang demokratis,” ujarnya.
Kedua, lanjut dia, sejak tahun 2004, presiden bukan lagi mandataris MPR, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat lewat pemilu. “Itu artinya presiden mendapatkan mandat elektoral langsung dari rakyat untuk menjalankan pemerintahannya,” jelas dia.
Dengan mandat elektoral 52,3 persen dalam Pilpres 2014, kata Ari, Presiden terpilih Jokowi tidak bisa begitu saja dimakzulkan oleh DPR, karena harus memenuhi pasal 7A dan dan 7B UUD 1945 dan usul pemberhentian presiden harus diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Dengan demikian, upaya memakzulkan presiden tidak semudah dibayangkan, karena harus melewati proses politik dan hukum yang panjang,” ungkapnya.
Dengan dua alasan itu, jelas Ari, maka kekhawatiran banyak kalangan termasuk para analisis yang menyebutkan akan terjadinya kebuntuan (gridlock) dalam pemerintahan yang selanjutnya akan berujung pada kerusakan demokrasi (democracy breakdown) akan sulit terjadi.
Lebih dari itu, ujar Ari, aalam menghadapi kegaduhan politik ini, ada beberapa titik harapan atau rasa optimisme yang terbentuk melihat gaya kepemimpinan yang ditawarkan oleh Jokowi. Dalam berbagai kesempatan, kata dia, Jokowi menyatakan, dengan jelas akan menjaga mandat elektoral dari rakyat dengan membentuk kabinet yang profesional.
“Kabinet profesional yang akan dibentuk oleh Jokowi-JK ini adalah bagian dari upaya memenuhi harapan rakyat untuk bisa menarik batas yang tegas antara kabinet yang sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan rakyat dengan kabinet yang dibentuk hanya berdasarkan alasan transaksional atau ditentukan semata-mata oleh power sharing (bagi-bagi kue kekuasaan semata),” ujar dia.
Jokowi, lanjut dia, juga terlihat akan konsisten dengan janjinya untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu serta bersama-sama rakyat memberantas korupsi dan mafia-mafia di sektor energi, kehutanan dan pajak yang memiskinkan rakyat.
“Ini jelas ditakuti para oligarki ekonomi-politik yang mengendalikan jaringan mafia. Namun jelas aksi ini pasti didukung rakyat,” katanya.
Ari mengatakan, Jokowi dalam pidato kemenangannnya tanggal 22 Juli 2014 pernah mengajak seluruh kekuatan politik yang berkontestasi dalam pemilu 2014 untuk melupakan perbedaan untuk selanjutnya bersatu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
“Itu artinya, tawaran Jokowi bukanlah pertarungan atau bahkan ‘peperangan’ melainkan kerja sama dengan semua kekuatan politik termasuk yang menguasai DPR untuk bekerja untuk kesejahteraan rakyat,” ujar dia.
“Ini artinya, sudah jelas siapa kekuatan politik yang ingin kegaduhan politik ini tetap terjadi,” tuturnya.
Menurut Ari, komitmen Jokowi adalah tetap menjalankan tata kelola pemerintahan yang partisipatif, transparan dan akuntabel. “Jokowi terlihat tetap dengan gaya kepemimpinan yang dekat dengan rakyat dan selalu berada di tengah-tengah rakyat,” kata dia.
“Ini menjadi titik pembeda antara pemimpin yang populis dengan model perpolitikan yang dikendalikan oligarki-elite. Pemimpin populis akan selalu mendapatkan dukungan rakyat melalui ‘participatory democracy’,” kata Ari.
Dalam pengalaman mengelola pemerintahan sebelumnya, baik di Solo maupun Jakarta, ujar Ari, Jokowi sudah terbiasa menghadapi tekanan politik sebagai akibat dukungan minoritas di parlemen/DPRD.
“Dalam menghadapi tekanan politik, Jokowi terbukti tetap konsisten dengan program-program pro rakyat. Hal ini membuahkan hasil karena rakyat dalam pemilu menjadi penilai dari kerja-kerja yang dilakukan oleh seorang pemimpin,” ucap Ari.
Sumber: http://ift.tt/1uf05BQ
Comments
Post a Comment