Mahfud: Naikkan BBM Bukan Alasan Pemakzulan, Kecuali Lima Alasan Ini

Mahfud: Naikkan BBM Bukan Alasan Pemakzulan, Kecuali Lima Alasan Ini

SURABAYA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga pakar hukum tata negara, Mahfud MD, mengatakan bahwa kebijakan kenaikan bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, kartu pintar, perombakan kabinet, dan kebijakan pemerintah lainnya bukan alasan pemakzulan.


"Kenaikan BBM, TDL, perombakan kabinet, kartu pintar itu tidak bisa menjadi alasan impeachment (pemakzulan), kecuali ada yang dikorupsi," kata Mahfud dalam semiloka refleksi akhir tahun dan musda Asosiasi Pengajar HTN dan hukum administrasi negara (HAN) di Surabaya, Selasa (16/12/2014).


Mantan Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014 itu menjelaskan, pemakzulan secara hukum itu hampir tidak mungkin untuk saat ini. Sebab, menurut dia, hanya ada lima alasan untuk pemakzulan, yang juga tidak mudah dilakukan.


"Kelima alasan impeachment yang dibenarkan secara hukum adalah korupsi, suap, pengkhianatan negara, kejahatan besar, dan perbuatan tercela. Karena itu, jangan takut dengan impeachment," katanya.


Di hadapan 150 dosen hukum tata negara/hukum administrasi negara dari perguruan tinggi se-Jatim itu, Mahfud mengatakan, syarat teknis untuk pemakzulan juga berat, yakni disetujui 2/3 anggota DPR. Padahal, dia melanjutkan, anggota DPR pro-pemerintah (Koalisi Indonesia Hebat) sudah lebih dari 1/3.


Bahkan, kalau dilakukan voting dan lolos pun masih harus dibawa ke MPR dan syaratnya akan semakin sulit. Karena MK sudah memutuskan syarat teknis untuk pemakzulan perlu didukung 3/4 anggota MPR.


"Itu pun sulit terpenuhi kalau seluruh anggota parlemen dari KIH tidak hadir. Apalagi, sikap DPR/MPR akan mendapat kontrol langsung dari masyarakat, media, dan LSM," katanya.


Menyikapi kisruh hubungan legislatif-eksekutif itu, ada yang menyalahkan konstitusi (UUD 1945) sebagai penyebab kisruh, karena itu ada yang meminta kembali kepada UUD 1945 dan ada juga yang menghendaki amendemen kelima.


"Tapi, sebagian akademisi menghendaki perbaikan cukup dilakukan pada tataran teknis implementasi di lapangan, seperti sistem kepartaian ditata kembali. Karena sistem presidensiil itu tidak kompatibel dengan sistem kepartaian dengan 10 parpol seperti di Indonesia," katanya.


Senada dengan itu, pakar politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, menegaskan bahwa kisruh legislatif-eksekutif itu lebih disebabkan dua kekurangan legislatif, yakni representasi dan akuntabel.


"Wajah legislatif atau DPR kita kurang mencerminkan representasi dari miniatur Indonesia. Di antaranya DPD sebagai aspirasi daerah dikebiri dengan hak bicara tanpa hak suara, sehingga DPD tidak terlibatkan dalam keputusan," kata Ramlan.


Selain itu, mantan wakil ketua KPU ini juga menilai representasi perempuan juga belum mencerminkan 'miniatur perempuan Indonesia'. Bahkan miniatur kedaerahan juga belum terpresentasikan, di antaranya anggota DPR dari Papua, Sulsel, dan Papua Barat melebihi jumlah persentase penduduk, sedangkan Riau justru kurang dalam mewakili persentase penduduk di DPR.


"Untuk akuntabel juga idem. Sebagai wakil rakyat, anggota DPR belum memenuhi syarat sebagai wakil, karena tidak pernah konsultasi kepada konstituen sebelum memutuskan suatu produk undang-undang, lalu laporan periodik kepada konstituen juga tidak ada, misalnya buletin pun tidak," katanya.


Dalam semiloka refleksi akhir tahun dan musda APHTN/APHAN Jatim itu, para peserta membahas empat isu, yakni hubungan legislatif-eksekutif, pemilu, implementasi demokrasi dan perlindungan HAM, dan kajian dua produk hukum, yakni UU 6/2014 tentang Pemerintahan Desa dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.


http://ift.tt/1323WFU


Comments

Popular posts from this blog

[TRUE STORY] Surabayan Gigolo: Ternyata Si Tante tak Selalu Cari yg Jago di Ranjang

[ PANLOK Idaman ....] Sandra Dewi Tak Heran Ahok Galak dan Suka Marah

Pengakuan Para Gigolo Kelas Atas di Surabaya